Beranda | Artikel
Penjelasan Kitab Tauhid BAB 11 - Larangan Menyembelih Ditempat Penyembelihan Kepada Selain Allah
Rabu, 14 November 2018

BAB 11

بَابُ لاَ يُذْبَحُ للهِ بِمَكَانٍ يُذْبَحُ فِيْهِ لِغَيْرِ اللهِ

DILARANG MENYEMBELIH BINATANG KARENA ALLAH DI TEMPAT YANG DILAKUKAN PENYEMBELIHAN KEPADA SELAIN ALLAH([1])

 

Firman Allah  Subhanahu wa Ta’ala :

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللَّـهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّـهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ ﴿١٠٧﴾ لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّـهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ ﴿١٠٨﴾

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu). Mereka sesungguhnya bersumpah: “kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadikan saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu dirikan shalat di masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu lakukan shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang mensucikan diri. ” (QS. At Taubah: 107 –108). ([2])

Tsabit bin Dhahhak radhiallahu ‘anhu berkata:

( نَذَرَ رَجُلٌ أَنْ يَذْبَحَ إِبِلاً بِبُوَانَةَ، فَسَأَلَ النَّبِيَّ r فَقَالَ: ( هَلْ كَانَ فِيْهَا وَثَنٌ مِنْ أَوْثَانِ الْجَاهِلِيَّةِ يُعْبَدُ؟ قَالُوْا: لاَ، قَالَ: ((فَهَلْ كَانَ فِيْهَا عِيْدٌ مِنْ أَعْيَادِهِمْ؟ قَالُوْا: لاَ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ r : ( أَوْفِ بِنَذْرِكَ؛ فَإِنَّهُ لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ وَلاَ فِيْمَا لاَ يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ )

“Ada seseorang yang bernadzar akan menyembelih unta di Buwanah, lalu ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi bertanya: “apakah di tempat itu ada berhala-berhala yang pernah disembah oleh orang-orang Jahiliyah? Para sahabat menjawab: tidak, dan Nabipun bertanya lagi: “apakah di tempat itu pernah dirayakan hari raya mereka? Para sahabatpun menjawab: “tidak, maka Nabipun menjawab: “laksanakan nadzarmu itu, karena nadzar itu tidak boleh dilaksanakan dalam bermaksiat kepada Allah, dan dalam hal yang tidak dimiliki oleh seseorang.” (HR. Abu Daud, dan Isnadnya menurut persyaratan Imam Bukhari dan Muslim). ([3])

Kandungan bab ini:

  1. Penjelasan tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah disebutkan di atas.
  2. Kemaksiatan itu bisa berdampak negatif, sebagaimana ketaatan berdampak positif.
  3. Masalah yang masih meragukan hendaknya dikembalikan kepada masalah yang sudah jelas, agar keraguan itu menjadi hilang.
  4. Diperbolehkan bagi seorang mufti untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebelum berfatwa untuk mendapatkan keterangan yang jelas.
  5. Mengkhususkan tempat untuk bernadzar tidak dilarang selama tempat itu bebas dari hal-hal yang terlarang.
  6. Tidak diperbolehkan mengkhususkan tempat, jika di tempat itu ada berhala-berhala yang pernah disembah pada masa jahiliyah, walaupun semuanya sudah dihilangkan.
  7. Tidak diperbolehkan mengkhususkan tempat untuk bernadzar, jika tempat itu pernah digunakan untuk melakukan perayaan orang-orang jahiliyah, walaupun hal itu sudah tidak dilakukan lagi.
  8. Tidak diperbolehkannya melakukan nadzar di tempat-tempat tersebut, karena nadzar tersebut termasuk katagori nadzar maksiat.
  9. Harus dihindari perbuatan yang menyerupai perbuatan orang-orang musyrik dalam acara-acara keagamaan dan perayaan-perayaan mereka, walaupun tidak bermaksud demikian.
  10. Tidak boleh bernadzar untuk melaksanakan kemaksiatan.
  11. Tidak boleh seseorang bernadzar dalam hal yang tidak menjadi hak miliknya.

KETERANGAN (FOOTNOTE):

([1]) Pembahasan pada bab ini sangat erat kaitannya dengan bab sebelumnya. Kalau bab sebelumnya (tentang larangan menyembelih kepada selain Allah) berkaitan dengan al-maqoshid (tujuan), adapun bab ini berkaitan dengan al-wasail yaitu sarana-sarana yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan. Karena tempat yang dijadikan tempat penyembelihan kepada selain Allah telah menjadi syi’ar pelaksanaan kesyirikan. Sehingga jika seorang muslim menyembelih sembelihan di tempat tersebut maka ia seakan-akan ikut meramaikan syi’ar tersebut dan ia telah meniru-niru kaum musyrikin secara dzhohir, dan penyerupaan secara dzahir bisa mengantarkan kepada kecondongan kepada mereka dan akhirnya menunjukkan kepada kesepakatan secara batin.

Karena sebab inilah maka syari’at melarang sikap tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang kafir pada perkara-perkara yang merupakan syi’ar mereka, demikian juga pada perayaan-perayaan mereka, bahkan penampilan dan pakaian mereka, serta seluruh perkara yang merupakan ciri khas mereka. Semua perkara ini dilarang dengan tujuan untuk menjauhkan kaum muslimin agar tidak menyamai mereka.

Secara dzohir hal ini merupakan sarana yang bisa menimbulkan kecondongan kepada mereka. Bahkan syari’at melarang sholat sunnah di waktu-waktu terlarang yang dimana pada waktu-waktu tersebut kaum musyrikin sedang sujud kepada selain Allah, agar terhindar dari tasyabbuh yang terlarang tersebut (lihat Al-Qoul As-Sadid hal 56). Karenanya seluruh perkara -meskipun dikerjakan karena Allah- namun bisa mengantarkan kepada kesyirikan maka syari’at tetap melarangnya, seperti syari’at melarang sholat ke arah kuburan atau sholat di atas kuburan atau berdoa di kuburan karena hal ini merupakan wasilah menuju kesyirikan.

Diantara hikmah yang lain adalah bisa jadi meskipun tempat tersebut sudah tidak lagi diadakan pelaksanaan penyembelihan kepada selain Allah, akan tetapi tatkala ada yang menyembelih karena Allah di tempat tersebut maka ini bisa menghidupkan kembali kesyirikan, karena tempat tersebut dahulunya sudah menjadi syi’ar kesyirikan. Dan diantara tujuan syari’at adalah sadd adz-Dzari’ah (menutup segala celah yang mengantarkan kepada kesyirikan). (lihat Hasyiah Kitab At-Tauhid, Abdurrahman bin Qoosim hal 103)

Dalam bab ini penulis (Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah) menyebutkan 2 dalil berikut :

([2]) Dalil pertama : Tentang ayat yang melarang untuk sholat di mesjid Ad-Diroor. Sisi pendalilannya : yaitu meskipun sholat tersebut tujuannya adalah untuk menyembah Allah semata tetapi jika dikerjakan di mesjid Ad-Diroor yang dibangun oleh orang-orang munafiq sebagai makar untuk menanamkan kekufuran kepada Allah, maka sholat di tempat tersebut dilarang. Demikian pula dilarang untuk menyembelih sesembelihan -meskipun karena Allah- untuk disembelih di tempat yang merupakan tempat syi’ar kesyirikan. Jadi sisi pendalilannya adalah qiyas dengan ‘illah jami’ah (sebab yang sama) yaitu dilarang mengerjakan amal sholih di tempat yang merupakan syi’ar kemaksiatan/kekufuran/kesyirikan.

Adapun kisah pendirian mesjid Ad-Diroor sebagaimana yang disebutkan dalam sejarah :

Di Madinah ada seseorang yang bernama Abu ‘Aamir. Abu ‘Amir adalah ayahnya Handolah, yaitu shahabat yang meninggal dalam perang Uhud dan belum sempat mandi junub sehingga dimandikan oleh para malaikat. Abu ‘Aamir ini suka membaca buku-buku terdahulu dan ia suka beribadah sehingga dikenal dengan Abu ‘Aamir Ar-Raahib. Orang-orangpun menghormati dan mengagungkannya. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah ke Madinah maka iapun hasad kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga iapun kafir dan membenci Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi menamakannya dengan Abu ‘Aamir al-Faasiq. Iapun pergi ke negeri Syaam untuk memprovokasi kaum Nashoro untuk menyerang Nabi, lalu ia menyurati kaum munafiqin agar membangun suatu tempat untuk mereka berkumpul dan bermusyawarah dalam rangka memberi kemudorotan kepada kaum muslimin. Akhirnya kaum munafiqin tidak berani membangun markaz, maka mereka hendak menipu kaum muslimin dalam bentuk membangun mesjid. Merekapun membangun mesjid dengan alasan bahwa mesjid tersebut fungsinya untuk orang-orang sakit, orang-orang lemah, malam-malam hujan, dan malam-malam di musim dingin, mengingat mesjid Nabawi terlalu jauh. Setelah itu mereka meminta agar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sholat di mesjid tersebut. Karena Nabi tidak tahu niat busuk mereka maka Nabi setuju untuk sholat di mesjid tersebut, hanya saja Nabi sudah hendak safar menuju perang Tabuuk, sehingga Nabi berjanji akan sholat di mesjid tersebut sepulang dari perang Tabuuk. (lihat I’aanatul Mustafiid hal 1/175)

Jadi mesjid tersebut mereka bangun sebagai markaz mereka untuk membuat makar (rencana buruk) bagi kaum muslimin dan menipu kaum muslimin, sehingga kaum muslimin menyangka bahwa mesjid tersebut dibangun untuk manfaat dan memberi keluasan bagi kaum muslimin. Padahal niat mereka adalah untuk mencerai beraikan barisan kaum muslimin yang bersatu di mesjid Nabawi di Madinah. Sehingga dengan dibangunnya mesjid ini akan ada sebagian kaum muslimin yang sholat di mesjid ini. Bahkan kaum munafiqin telah meminta kepada Nabi untuk sholat di situ. Yaitu seakan-akan Nabi meresmikan mesjid tersebut sehingga dengan demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melegalkan para sahabat untuk sholat di situ. Maka tatkala Nabi pulang dari Tabuuk dan sudah dekat kota Madinah dengan jarak perjalanan semalam atau dua malam maka Allah pun membongkar niat buruk mereka, sehingga Allah melarang Nabi untuk sholat di situ. (Lihat As-Siroh An-Nabawiyah As-Shahihah 2/527)

Beberapa faidah dari kisah ini :

  • Niat itu sangat berpengaruh pada tempat dan bangunan, apakah diberkahi atau tidak. Sehingga niat itu tidak hanya berpengaruh pada amal perbuatan tubuh, bahkan berpengaruh pada bangunan yang dibangun.
  • Yang menjadi patokan di sisi Allah adalah tujuan bukan dzohir yang tampak. Lihatlah, secara dzohir mereka sedang membangun mesjid akan tetapi tujuan utamanya adalah untuk membuat kerusakan
  • Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui niat dan isi hati, karenanya beliau tidak mengetahui tujuan buruk dari orang-orang munafik kecuali setelah diberitahu oleh Allah.
  • Peringatan kepada kaum muslimin agar berhati-hati. bisa jadi ada sekelompok orang yang berniat buruk akan tetapi bersembunyi di balik “program sosial” atau yang semisalnya.
  • Bahayanya penyakit hasad yang bisa menjadikan seseorang menolak kebenaran, sebagaimana Abu ‘Amir al-Fasiq yang hasad kepada Nabi. Sebagaimana pula Abdullah bin Ubay bin Salul yang hasad kepada Nabi.
  • Bisa jadi seseorang itu buruk akan tetapi anaknya adalah orang-orang yang baik. Sebagaimana Abu ‘Amir al-Fasiq ternyata anaknya adalah seorang mujahid yang mati syahid yaitu Handolah. Demikian pula seperti Ikrimah bin Abi Jahl, Kholid bin al-Waliid, Shofwan bin Umayyah bin Kholaf, dll.

([3]) Buwanah: nama suatu tempat di sebelah selatan kota Makkah, sebelum Yalamlam, dan ada yang mengatakan suatu tempat di dekat  Yanbu’.

Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menyembelih -karena Allah- di tempat yang dahulunya merupakan tempat penyembelihan kepada selain Allah. Karena hal ini mengantarkan kepada pengagungan terhadap tempat dan syi’ar kesyirikan tersebut. Bahkan meskipun berhala atau acara kesyirikan tersebut sudah tidak ada lagi. Sebagaimana pertanyaan yang ditanyakan oleh Nabi kepada sahabat tersebut, “Apakah pernah ada…?”.  Karena hal ini bisa menghidupkan kembali syi’ar-syi’ar kesyirikan.

Akan tetapi para ulama menjelaskan bahwa jika atsar (bekas) dari syi’ar kesyirikan tersebut benar-benar telah hilang dan telah dilupakan serta tidak dikhawatirkan akan hidup kembali, maka tidak mengapa dilakukan ibadah di tempat tersebut. Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata :

وقد استشكل جعل محل اللات بالطائف مسجدا. والجواب والله أعلم: أنه لو ترك هذا المحل في هذه البلدة لكان يخشى أن تفتتن به قلوب الجهال فيرجع إلى جعله وثنا, كما كان يفعل فيه أولا فجعله مسجدا والحالة هذه ينسى فيها ما كان يفعل فيه ويذهب به أثر الشرك بالكلية، فاختص هذا المحل لهذه العلة وهي قوة المعارض والله أعلم.

“Telah Menjadi sesuatu yang dipermasalahkan tatkala lokasi berhala Lata di Thoif di bangun mesjid di atasnya. Jawabannya adalah –wallahu a’lam–  : Seandainya tempat tersebut dibiarkan saja di kota ini (Thoif) maka dikhawatirkan hati-hati yang jahil terfitnah dan akhirnya tempat tersebut kembali menjadi tempat berhala sebagaimana dahulunya demikian. Maka tempat tersebut dijadikan mesjid -dalam kondisi demikian- sehingga semuanya akan terlupakan, dan akan hilang sisa-sisa kesyirikan secara total. Maka tempat ini mendapatkan perlakuan khusus karena sebab ini yaitu kuatnya kondisi yang mengubah, Wallahu a’lam” (Catatan kaki di Fathul Majid hal 154)

Demikian pula jika ibadah yang dilakukan -kepada Allah- di suatu tempat yang pernah menjadi lokasi kesyirikan berbeda dengan model kesyirikan yang pernah dilakukan di tempat tersebut. Karenanya Umar bin Al-Khottob pernah sholat di gereja Baitul Maqdis, demikian juga diriwayatkan para sahabat sholat di gereja-gereja di negeri-negeri yang lain. As-Syaikh Sholih Alu Asy-Syaikh berkata :

لأن نهي النبي صلى الله عليه وسلم عن الصلاة في مسجد الضرار، وعن الذبح لله بمكان يذبح فيه لغير الله إنما هو: لأن صورة العبادة واحدة؛ فصورة الذبح من الموحد، ومن المشرك واحدة… وأما الصلاة في الكنيسة، فإن صورة الفعل مختلفة؛ لأن صلاة النصارى ليست على هيئة وصورة المسلمين، فيعلم من رأى المسلم يصلي أنه لا يصلي صلاة النصارى

“Karena larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk sholat di mesjid ad-Diror dan larangan untuk menyembelih di tempat yang pernah dilakukan penyembelihan kepada selain Allah adalah karena bentuk ibadahnya yang sama,  yaitu bentuk menyembelih yang dilakukan oleh seorang yang bertauhid sama dengan bentuk menyembelih yang dilakukan oleh seorang musyrik. Adapun sholat di gereja maka bentuk pelaksanaannya berbeda. Sholat yang dilakukan oleh kaum nashrani tidak sama dengan sholat yang dilakukan oleh kaum muslimin, sehingga orang yang melihat seorang muslim sholat di gereja akan mengetahui bahwa sholatnya tidak seperti sholat kaum nashrani” (At-Tamhiid 153-154)

Pertanyaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat tersebut, “apakah di tempat itu pernah dirayakan hari raya mereka?”.

Yang dimaksud dengan العِيْدُ “ied” (perayaan) secara bahasa diambil dari kata عاد يعود yang artinya “kembali”, yaitu sesuatu yang berulang seperti ulang tahun, atau ada juga perulangan setiap minggunya. Sebagian ahli bahasa mengatakan yang namanya al-‘ied adalahكل يومِ مَجْمع  semua hari perkumpulan. Dan asal kata al-‘ied mencakup perulangan perkumpulan pada perkara yang menyenangkan dan juga perkara yang menyedihkan. (Lihat Tahdziib Al-Lughoh 3/84)

Al-‘ied mencakup tempat maupun waktu. Adapun waktu yaitu seperti hari raya ‘iedul fithri dan ‘idul adha yang merupakan perkumpulan tahunan, dan hari jum’at yang merupakan hari raya mingguan. Sedangkan al-‘ied yang mencakup tempat yaitu seperti doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar kuburan beliau tidak menjadi tempat ‘ied. Beliau berkata :

لَا تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيدًا

“Ya Allah janganlah engkau menjadikan kuburanku sebagai ‘ied” (HR Ahmad No. 8804, Abu Dawud No. 2042 dengan sanad yang shahih).

Yaitu janganlah kalian berkumpul di kuburanku seperti kalian berkumpul tatkala hari raya. Karenanya pertanyaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits ini “apakah di tempat itu pernah dirayakan hari raya mereka?” adalah mengenai al-‘ied yang berkaitan dengan tempat, yaitu apakah Buwanah adalah tempat ‘ied (berkumpul) mereka yang mereka rayakan? Namun bisa jadi yang dimaksudkan oleh Nabi adalah al-‘ied yang berkaitan dengan waktu, hanya saja mereka merayakan ‘ied di Buwanah. Tetapi tentu saja kaum musyrikin merayakan hari raya mereka dengan ibadah-ibadah kesyirikan, diantaranya menyembelih kepada selain Allah. (lihat At-Tamhiid 155)

Sabda Nabi -setelah bertanya- : “laksanakan nadzarmu itu, karena nadzar itu tidak boleh dilaksanakan dalam bermaksiat kepada Allah, dan dalam hal yang tidak dimiliki oleh seseorang.” menunjukkan bahwa menyembelih karena Allah di tempat yang pernah ada berhalanya dan pernah ada perayaan kaum musyrikin disana merupakan maksiat kepada Allah. Oleh karena itu para ulama telah ijmak (sepakat) bahwasanya nadzar maksiat tidak boleh ditunaikan. Akan tetapi mereka berselisih apakah harus membayar kaffaaroh sumpah ataukah tidak? Pendapat yang lebih kuat adalah diharuskan membayar kaffaroh, karena dalam hadits yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ، وَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ

“Tidak ada nadzar dalam bermaksiat, dan kaffarohnya adalah kaffaroh sumpah” (HR Abu Daud No. 3290, At-Tirmidzi No. 1524, Ibnu Majah No. 2125 dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anhaa dan dishahihkan oleh Al-Albani).

Dan juga dikuatkan dengan keumuman hadits :

كفارة النذر كفّارة اليمين

“Kaffarohnya nadzar adalah kaffaroh sumpah” (HR Muslim No. dari ‘Uqbah bin ‘Aaamir).

Hadits ini bersifat umum sehingga mencakup juga nadzar maksiat. (Lihat Dzakhirotul ‘Uqbaa fi Syarhil Mujtabaa 31/74-75)

Sabda Nabi “dan dalam hal yang tidak dimiliki oleh seseorang” maksudnya adalah jika seseorang bernadzar pada harta milik orang lain. Misalnya ia berkata, “Aku bernadzar untuk memerdekakan budaknya si fulan”, atau “Jika aku sembuh aku akan menyembelih kambingnya si fulan”. Meskipun setelah itu bisa jadi ia memiliki harta tersebut, namun ketika dia bernadzar harta tersebut adalah milik orang lain, maka nadzarnya tidak dianggap, karena seakan-akan hanyalah ucapan sia-sia, sebab ia bernadzar pada harta orang lain. Adapun jika ia bernadzar dan tidak menyebutkan harta milik orang lain, tetapi ia menyebutkannya dalam tanggungannya secara mutlak, seperti “Jika aku sembuh aku akan menyembelih kambing”. Meskipun ketika bernadzar ia tidak memiliki kambing maka ia tetap harus menyembelih kambing jika ia telah mampu di kemudian hari (al-‘Uddah fi syarh al-‘Umdah, karya as-Shon’aani 3/1533 dan Taisiir al-‘Aziz al-Hamiid hal 164). Hal Ini dikuatkan dengan kisah seorang wanita Anshor bersama untanya Nabi yang ditawan oleh musuh. Wanita ini melarikan diri menaiki untanya Nabi, dan ia bernadzar,

إِنْ نَجَّاهَا اللهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا

“Kalau ia berhasil selamat dengan menaiki unta ini maka ia akan menyembelih unta ini”. Tatkala wanita ini selamat sampai kota Madinah maka dikabarkan kepada Nabi tentang nadzarnya, Nabi berkata :

سُبْحَانَ اللهِ، بِئْسَمَا جَزَتْهَا، نَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا، لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةٍ، وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ الْعَبْدُ

“Subhaanallah, betapa buruk balas jasa wanita tersebut terhadap si unta, ia bernadzar kalau berhasil selamat naik unta maka ia akan menyembelih unta tersebut. Tidak ada penunaian terhadap nadzar dalam kemaksiatan dan tidak juga pada perkara yang bukan milik seorang hamba” (HR Muslim No. 1641).

Bersambung Insya Allah…

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/2299-penjelasan-kitab-tauhid-bab-11-larangan-menyembelih-ditempat-penyembelihan-kepada-selain-allah.html